BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang Masalah
Islam telah membangun peradaban sudah sejak 14 abad yang
lalu. Dengan segala perbedaan yang ada telah mewarnai peradaban islam, mulai
dari abad permulaan, pertengaan dan bahkan era modern sekarang ini.
Jatuh bangunnya peradaban yang dibangun oleh agama besar
ini disebabkan oleh banyak aspek yang mempengaruhi. Salah asatunya adalah
perbedaan yang muncul di antara umat islam, yang memberikan corak dan warna
tersendiri dalam dalam alur sejarah. Perbedaan ini kadang terjadi akibat
perselisihan terhadap hal-hal yang bersifat dunyawiyah
seperti politis dan sebagainya. Namun tak jarang perselisihan terjadi
akibat permasalahan ukhrawiyyah seperti
masalah i’tiqadiyyah, fiqhiyyah dan
lain sebagainya yang menyebabkan umat islam terpecah menjadi banyak sekte dan
aliran yang tak jarang menimbulkan pertumpahan darah dan pecahnya persatuan.
Pada masa daulah Abbasiyyah terjadi kemajuan pesat di
berbagai bidang, salah satunya keilmuan yang diadopsi dari berbagai khazanah ilmu
perdaban keilmuan sebelumnya, seperti Yunani, Persia dan India. Hal ini yang
membuka pikiran umat islam untuk terus terpacu untuk terus berkarya.Namun
demikian, dampak dari hal tersebut adalah tercampurnya filsafat dunia luar,
terutama Yunani ke dalam masalah teologi islam. Hal ini menyebabkan umat islam
semakin jauh dan semakin berani untuk menafsirkan masalah-masalah i’tiqadiyyah.
Masalah-masalah teologi semakin ramai diperbincangkan dan
dibahas, sehingga saat itu muncul salah satu disiplin keilmuan islam yang
kemudian dikenal dengan ilmu kalam atau teologi atau ilmu tauhid. Masyarakat
pada masa itu semakin marak mempelajari ilmu ini dengan berbagai alasan dan
tujuan, diantaranya untuk melemahkan islam dengan mencampur baurkan filsafat
Yunani dan islam semakin jauh, ada yang mempelajari ini untuk menghancurkan
persatuan dan menimbulkan keraguan pada umat islam yang masih awam serta ada
yang mempelajari ilmu ini untuk melawan kedua golongan di atas dan menyelamatkan aqidah islam.
b.
Rumusan
Masalah
·
Bagaimana sejarah lahirnya ilmu
kalam?
·
Bagaimana pandangan para tokoh
terhadap ilmu kalami?
c.
Tujuan Penulisan
·
Mengetahui sejarah ringkas
lahirnya ilmu kalam.
·
Mengetahui dan melihat bagaimana
pandanga para tokoh terhadap ilmu kalam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Munculnya Ilmu Kalam
Generasi umat islam terbaik
adalah generasi pada masa Rasulullah saw dan kemudian para sahabat. Generasi inilah
yang hidup langsung dari bimbingan wahyu dan belum terintimidasi dari berbagai
pengaruh luar, sehingga tauhid yang ada benar-benar terpelihara karena para
sahabat hidup di bawah bimbingan Rasulullah saw yang dibimbing oleh Allah swt
secara langsung melalui malaikatnya.
Beberapa dekade setelah
Rasulullah saw wafat, permasalahan di mulai muncul di antara kaum muslimin,
baik yang disebabkan oleh pihak yang ingin menghancurkan islam maupun dari
pihak umat islam sendiri. Contohnya adalah peristiwa perang riddah pada masa Abu Bakar ra, adanya
nabi palsu, pembunuhan Umar bin Khattab ra, pembunuhan Usman bin Affan ra, pembunuhan Ali bin Abi
Thalib ra dan berbagai peristiwa besar lainnya yang menimpa kaum muslimin.
Pembunuhan terhadap khalifah
rasyidin yang ketiga, Usma bin Affan ra sebenarnya membawa umat islam ke dalam
suatu babak peradaban yang baru. Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi khalifah di
tengah huru-hara masyarakat yang sangat bergejolak, anatara penuntut darah
Usman, penuntut keadilan dan pemberontak. Puncak pergolakan pada masa khalifah
Ali adalah perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dengan Ummul Mukminin
Aisyah ra dalam perang Jamal dan dengan Muawwiyah bin Abi Sofyan ra dalam
perang Shiffin.
Peperangan yang terjadi dengan
Muawwiyah menjadi titik penentu bagi lahirnya beberapa sekte dan aliran dalam
Islam kala itu. Pada saat ini lah munculnya Syiah yang mengaku sebagai
pendukung setia Ali bin Abi Thalib ra, munculnya Khawarij yang merupakan
golongan yang tidak setuju denga langkah perundingan yang diambil Ali bin Abi
Thalib tehadap Muawwiyah dan munculnya satu kelompok lagi sebagai pendukung
loyal Muawwiyah bin Abi Sufyan ra.
Di sisnilah permulaan dari
munculnya pembahasan-pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan yang
kemudian dikenal dengan ilmu kalam. Namun demikian ini belum menjadi suatu
cabang ilmu tersendiri. Setelah terjadi pembunuhan terhadap Ali bin Abi Thalib
ra, timbullah aspek lain yang dijadikan bahan perdebatan dan berselisih yang
pada akhirnya menjelma menjadi wujud
berbagai cabang ilmu keislaman yang didukung oleh berbagai sekte.
Abad ketiga hijjriyyah, yaitu
pada masa daulah Abbasiyyah muncullah perdebatan yang mebuat umat islam semakin
gemar membahas tentang dasar-dasar dari akidah islam sendiri yang dikenal
dengan ilmu kalam. Syahrastani (w. 1153 M) menyatakan bahwa ilmu kalam secara
definitif lahir pada masa Abbasiyyah tepatnya pada masa khalifah al Ma’mun (813
M – 833 M) dengan Mu’tazilah sebagai dalang utama (Esha, 2010 : 28).
B. Pandanngan
Para Tokoh
Sebagaimana diketahui bersama,
puncak keemasan dari peradaban ilmu pengetahuan adalah pada masa Abbasiyyah,
tepatnya pada masa al Ma’mun. Sebagaimana pembahasan pada bagian sebelumnya,
ilmu kalam mencapai puncak pada masa ini dengan mu’tazilah sebagai dalang
utama. Pada masa ini pula banyak tokoh ilmuwan, ulama, pemikir dan filosof
islam lahir. Semua tokoh ini turt mengalami dan merasakan bagaimana kondisi
perdebatan dan perpecahan masalah i’tiqadiyyah dalam islam pada masa ini.
Berikut merupakan beberapa tokoh yang menanggapi permasalahan ilmu kalam.
1.
Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah merupakan
perintis dari Mazhab Fiqhiyyah Hanafi yang bedomisili di Kufah dan Bashrah.
Beliau dan para pengikut mazhabnya di kena; sebagai ahl ra’yi.
Pada awalnya beliau termasuk
salah satu orang yang tekun mempelajari filsafat dan ilmu kalam sehingga beliau
termasuk salah satu orang yang sudah mumpuni dalam masalah ini. Namun semuanya
berubah pada saat seorang wanita mengahadapnya dan meminta fatwa terhadap
masalah fiqh dan beliau tidak bisa menjawab. Di sisnilah menjadi awal
pencerahan bagi sang Imam dan melihat bahwa Ilmu Kalam tidak memberikan manfaat
sekalipiun untuk kehidupan. Belum lagi beliau melihat pembahasan yang menjadi
bahan pembicaraan mutakallimin yaitu
masalah-masalah yang dapat menimbulkan keraguan terhadap dalil-dalil naqliy.
Suatu hari beliau melihat
anaknya duduk dengan sekelompok orang dan sibuk membahas permasalahan ilmu
kalam, beliau berkata kepada anaknya setelah melalui perdebatan panjang,” Wahai
anakku, mereka yang berdebat dalam Ilmu Kalam, pada mulanya adalah bersatu
pendapat dan agama mereka satu. Namun setan mengganggu mereka sehingga mereka bermusuhan
dan berbeda pendapat”. Pada saat yang
lain beliau ditanya oleh seseorang,” “Apakah pendapat anda tentang
masalah baru yang dibicarakan orang-orang dalam Ilmu Kalam, yaitu masalah
sifat-sifat dan jism?” Beliau menjawab,”itu adalah ucapan-ucapan para ahli
filsafat. Kamu harus mengikuti hadits Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam dan
metode para ulama salaf. Jauhilah setiap hal yang baru karena hal itu adalah
bid’ah”. (sumber : Al-Makki,
Manaqib Abu Hanifah, hal.183-184 dari http://www.almanhaj.or.id/content/1191/slash/0).
2.
Imam Malik
Imam Malik bin Anas adalah
perintis dari mazhad Fiqh Maliki. Beliau dan pengikutnya dikenal sebagai ahlul hadits yang berdomisili di Madinah
dan sangat berpegang teguh pada hadits dan kehidupan ahli madinah. Terhadap
ilmu kalam beliau memiliki penolakan yang sangat tegas.
Imam Abdil Bar meriwayatkan
dari Mush’ab bin Abdullah bin az Zubairi, bahwa Imam Malik berkata,”Saya tidak
menyukai Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri ini juga tidak
menyukainya, dan melarangnya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali di dalam
terkandung amal. Adapun Kalam di dalam agama, bagi saya lebih baik diam saja”.
Di kesempatan yang lai beliau juga
berkata,” “Setiap ada orang datang kepada kita, ia ingin berdebat.
Apakah ia bermaksud agar kita ini menolak apa yang telah dibawa oleh Malaikat
Jibril kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam?” (sumber : Jami’ Bayan
al-’Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415 dari http://www.almanhaj.or.id/content/1885/slash/0).
3.
Imam Syafi’i
Beliau adalah Muhammad bin
Idris as Syafi’i yang merupakan perintis dari berdirinya mazhab Syafi’i yang
dikenala sebagai penyatu antara pemikiran ahl
ra’yi Abu Hanifah dan pemikiran ahl
Hadits imam Malik. Beliau merupakan orang pertama yang meletakkan
dasar-dasar penggalian hukum atau istinbatul
ahkam yang kemudian menjadi cabang ilmu ushul fiqh. Terhadap empat mazhab
besar fiqh, san Imam mempunyai pertalian ang istimewa dibandingkan dengan yang
lain. Dengan Imam Abu Hanifah, beliau lahir pada saat Imam Abu Hanifah
meninggal dan beliau pernah duduk berunding dengan murid besar imam Abu
Hanifah. Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Malik dan Imam Syafi’i
mempunyai banyak murid salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Imam Ahmad pernah menyatakan
bahwa Imam Syafi’i lebih menyukai hadits dalam menyampaikan fatwanya dan
sifatnya yang paling baik adalah semangat terhadap ilmu fiqh dan membenci ilmu
kalam.
Abu Tsaur dan Husain bin ‘Ali
Al-Karabisiy, keduanya berkata: Kami pernah mendengar Asy-Syafi’i
berkata,“Menurutku hukuman yang pantas untuk ahli ilmu kalam adalah dipukuli
dengan pelepah kurma, dinaikkan di atas unta, dan dibawa keliling ke tengah-tengah
khalayak ramai, lalu diserukan [kepada mereka]: Inilah balasan bagi orang-orang
yang meninggalkan al-kitab dan as-sunnah dan memilih ilmu kalam.”(sumber : Tawali
At-Ta’sis hal. 111 dikutip dari http://ibnabid.wordpress.com/2007/06/03/al-imam-asy-syafii-dan-ilmu-kalam/).
4.
Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal adalah
perintis bagi berdirinya mazhab Hanbali. Beliau berdomisili di Baghdad dan
dikenal sebagai orang yang sangat membela sunnah. Beliau pernah merasakan
bagaimana hukuman akibat permasalahan ilmu kalam yang sedang gencar-gencarnya
pada masa khlaifah al Ma’mun, karena menentang kaum Mu’tazilah yang merupakan
aliran kerajaan pada masa itu.
Terhadap ilmu kalam dan para
mutakallimin beliau sangat berhati-hati. Beliau melarang bermajlis dan bertukar
pikiran dengan mereka walaupun para mutakallimin tersebut terlihat mebela
sunnah. Karena menurut beliau hal tersebut tidak akan membawa kebaikan. Beliau
juga memperingatkan muridnya untuk sangat berhati terhadap ilmu kalam.
5.
Imam Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Ahmad
bin Muhammad al Ghazali merupakan pemikir dan filosof islam terkemuka yang
merupakan hujjatul islam salah satu
tokoh mazhab Syafi’i. Pada masa hidupnya keilmuan mencapai puncak kejayaan. Ibn
Khaldun (w.1153 M) dalam (Esha, 2010 : 28) menjelaskan bahwa pada masa al
Ghazali ilmu kalam mencapai masa kematangan. Dengan demikian,
pemikiran-pemikiran al Ghazali merupakan potret dari sebuah kondisi dimana perkembangan
ilmu kalam boleh dikatakan telah mencapai fase yang lebih kompleks dan sempurna
dibandingkan masa sebelumnya.
Ruang lingkup ilmu kalam
pembahasan ilmu kalam menurut perspektif al Ghazali seperti tercermin di dalam
berbagai karyanya adalah :
·
Ketuhanan, yang meliputi zat
Tuhan sperti wujud Tuhan dan lainnya, berkenaan dengan sifat Tuhan yang
berkenaan dengan Zat dan perbuatan Allah terhadap makhluk.
·
Kenabian dan kerasulan
·
Hari akhir sperti keadaan
mahsyar, timbangan, para malaikat dan lain sebagainya.
Pada masa ini serangan terhadap akidah islam semakin marak terjadi dengan
mencampur adukkan filsafat Yunani yang berasal dari penerjemahan kitab-kitab
kuno ke dalam bahasa arab, telah menjadikan al Ghazali sebagai pemikir ulung
yang dituntut uoleh kondisi masa itu mempelajari ilmu kalam. Tujuan dari ini
adalah untuk mencegah pencemaran akidah yang dilakukan pihak-pihak yang ingin
merusak islam, terutama terhadap orang-orang yang masih awam dalam persoalan
ini.
Pada masa ini seolah terjadi perang pikiran dan ideologi antara al Gazali
dengan ahli kalam dan para filosof lainnya. Hal tersebut tercermin dari karya
al Ghazali, Thahafut al Falasifah yang
menyerang para filosof dan mutakallimin akan ketidakjelasan pemikiran mereka.
Karya ini kemudian dijawab dan dibantah oleh Ibn Rusydi dengan karyanya Thahafut Thahafutil Falasifah.
Walaupun al Ghazali merupakan ikon dari ilmu kalam abad pertengahan dengan
ilmunya yang mumpuni dalam bidang ini, beliau juga mewanti-wanti kepada
masyarakat untuk berhati-hati dan menghindari mempelajari ilmu kalam dan
perdebatan dengan para ahli kalam. Hal ini tergambar dari perkataan beliau di
suatu waktu bahwa manusia yang memiliki banyak keraguan pada saat kematian
adalah para ahli kalam.
Sirajuddin Zar dalam bukunya menyatakan bahwa menurut al Ghazali ada
beberapa hal yang membuat filosof dan mutakallimin semakin jauh dari akidahnya
dan bahkan bisa menyebabkan kekafiran bagi mereka adalah : pertama, anggapan mereka bahwa alam dan segala substansi adalah
qadim. Kedua, anggapan mereka bahwa
Allah swt tidak mengetahui secara terperinci segala sesuatu yang terjadi di
alam. Ketiga, pengingkaran mereka
terhadap pembangkitan jasmani pada hari akhir (Filsafat Islam : Filosof dan
Filsafatnya, 2004 :163).
6.
Al Taftazzani
Kalau al Ghazali mewakili ilmu
kalam adab permulaan kemajuan ilmu pengetahuan, maka pada abad pertengahan ilmu
kalam diwakili oleh pemikiran Imam al Taftazzani (1250 M – 1500 M).
In’am Esha menyatakan bahwa
pokok persoalan ilmu kalam menurut al Taftazzani seperti dalam karyanya al
Maqasid adalah : Pertama, Pendahuluan
yang meliputi bentk keilmuan dari ilmu kalam dan persoalan argumentasi. Kedua, metafisika yang meliputi
pembahasan wujud dan ‘adam, materi (zat) dan sebagainya. Ketiga, esensi yang meliputi jism,
bagian ruh dan lainnya. Keempat masalah
ketuhanan atau ilahiyyat yang
meliputi zat Tuhan, perbuatan Tuhan dalam hubungan dengan manusia. Kelima, masalah kenabian, hari akhir dan
imamah (Falsafah Kalam Sosial, 2010 : 30).
7.
Ashgar Ali Engineer
Beliau merupakan tokoh pemikir
kelahiran India pada 10 Maret 1940, merupakan pimpinan Syiah Ismailiyyah Daudi
Bohras India. Terhadap ilmu kalam, Ashgar mempunyai pandangan sendiri yang
kemudian lebih kenal luas dengan Kalam (teologi) Pembebasan.
In’am Esha menyatakan dalam bukunya
bahwa Ashgar mencetuskan kalam pembebasannya untuk membekali masyarakat muslim
secara ideo teologis yang diperlukan dalam rangka untuk mengentaskan masyarakat
Islam dari penindasan dan keterbelakangan yang dialami pada masa itu (Falsafah
Kalam Sosial, 2010 : 87).
Metode kalam pembebasan yang
dicetuskan oleh Ashgar adalah :
·
Metode dekonstruksi, yaitu
metode dengan cara membongkar kalam tradisional yang hanya sebatas ritual,
dogma yang tidak memiliki ruh dan bahkan banyak digunakan untuk kepentingan rezim
penguasa tertentu pada masa itu.
·
Metode hermeutik, yaitu dengan
cara menjelaskan dan menelusuri kembali pesan-pesan yang disampaikan oleh al
quran dan hadits.
·
Metode analisis praktis sosial,
merupakan metode dengan sikap liberatif antara apa yang sudah ada dengan apa
yang seharusnya ada.
8.
Nurchalis Madjid
Tokoh kelahiran Jawa Timur 17
Maret 1939 merupakan salah satu pemikir besar yang oleh sebagian kelompok
dianggap sebagai pembaharu islam di Indonesia khususnya, sementara kelompok
lainnya menganggap tokoh orientalis yang ingin merusak Islam.
Terlepas dari semua pro dan
kontra terhadap Nurchalis Madjid, beliau merupakan salah seorang pemikir yang
menyatakan bahwa objek ilmu kalam saat ini tidak lagi terbatas pada
permasalahan yang sudah menjadi objek pada masa sebelumnya, namun lebih luas.
Salah satu pendapatnya adalah Kalam Pluralisme yang menganggap bahwa semua
agama pada hakikatnya adalah sama dan
Islam adalah agama Universal.
Dalam mengeluarkan teori Kalam
Pluralisme ini, Nurchalis melakukan dua pendekatan, yaitu : Pertama, pendekatan historis yaitu
dengan melihat hubungan antar agama dalam sejarah, terutama agama samawi
seperti keterkaitan Islam, Kristen dan Yahudi. Kedua,pendekatan sosiologis yaitu dengan melihat interaksi dari
masing-masing agama dan hubungannya dengan agama lain.
Menurut Nurchalis Madjid,
pluralisme adalah sunnatullah sebagaimana tercantum di dalam al Quran surat al
Hujurat ayat 13. Menurut beliau dunia saat ini adalah dunia pluralitas karena
pengaruh globalisasi telah merambah ke seluruh dunia. Kehidupan umat beragama
yang transparan ini harus memilikimisi yang tepat tentang agama merekadan
komunitas lainnya dengan kesadaran positif akan perbedaannya. Masing-masing
komunitas sebaiknya memahami dan mempertimbangkan secara serius kesadaran
masing-masing kelompok akan segala perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA
Esha, Muhammad In’am. 2010. Falsafah
Kalam Sosial. Malang : UIN – Maliki Press
Mulyono dan Bashori. 2010. Studi Ilmu Tauhid / Kalam. Malang :
UIN-Maliki Press
Syukur, M. Amin. 2003. Teologi Islam
Terapan : Upaya Antisipasif terhadap Hedonisme Kehidupan. Solo : PT Serangkai
Pustaka Mandiri
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam
: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
http://ulumnabawiahmakh.blogspot.com/2013/02/pandangan-imam-alghazali-terhadap-ilmu.html ( diakses pada tanggal 10 Maret 2013 jam
12.30 WIB)
http://abuzuhriy.com/pandangan-imam-yang-empat-mengenai-ilmu-kalam/ ( diakses pada tanggal 10 Maret 2013 jam 12.38 WIB)
http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/09/25/filsafat-dan-ilmu-kalam-dalam-sorotan-ulama-syafiiyyah/ (diakses pada tanggal 10 Maret 2013 jam 12.51 WIB)
http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/09/25/filsafat-dan-ilmu-kalam-dalam-sorotan-ulama-syafiiyyah/ (diakses pada tanggal 10 Maret 2013 jam 13. 08 WIB)