Minggu, 27 Oktober 2013

Ilmu Kalam - Sejarah

BAB I
PENDAHULUAN

a.       Latar Belakang Masalah
Islam telah membangun peradaban sudah sejak 14 abad yang lalu. Dengan segala perbedaan yang ada telah mewarnai peradaban islam, mulai dari abad permulaan, pertengaan dan bahkan era modern sekarang ini.
Jatuh bangunnya peradaban yang dibangun oleh agama besar ini disebabkan oleh banyak aspek yang mempengaruhi. Salah asatunya adalah perbedaan yang muncul di antara umat islam, yang memberikan corak dan warna tersendiri dalam dalam alur sejarah. Perbedaan ini kadang terjadi akibat perselisihan terhadap hal-hal yang bersifat dunyawiyah seperti politis dan sebagainya. Namun tak jarang perselisihan terjadi akibat permasalahan ukhrawiyyah seperti masalah i’tiqadiyyah, fiqhiyyah dan lain sebagainya yang menyebabkan umat islam terpecah menjadi banyak sekte dan aliran yang tak jarang menimbulkan pertumpahan darah dan pecahnya persatuan.
Pada masa daulah Abbasiyyah terjadi kemajuan pesat di berbagai bidang, salah satunya keilmuan yang diadopsi dari berbagai khazanah ilmu perdaban keilmuan sebelumnya, seperti Yunani, Persia dan India. Hal ini yang membuka pikiran umat islam untuk terus terpacu untuk terus berkarya.Namun demikian, dampak dari hal tersebut adalah tercampurnya filsafat dunia luar, terutama Yunani ke dalam masalah teologi islam. Hal ini menyebabkan umat islam semakin jauh dan semakin berani untuk menafsirkan masalah-masalah i’tiqadiyyah.
Masalah-masalah teologi semakin ramai diperbincangkan dan dibahas, sehingga saat itu muncul salah satu disiplin keilmuan islam yang kemudian dikenal dengan ilmu kalam atau teologi atau ilmu tauhid. Masyarakat pada masa itu semakin marak mempelajari ilmu ini dengan berbagai alasan dan tujuan, diantaranya untuk melemahkan islam dengan mencampur baurkan filsafat Yunani dan islam semakin jauh, ada yang mempelajari ini untuk menghancurkan persatuan dan menimbulkan keraguan pada umat islam yang masih awam serta ada yang mempelajari ilmu ini untuk melawan kedua golongan  di atas dan menyelamatkan aqidah islam.

b.      Rumusan Masalah
·         Bagaimana sejarah lahirnya ilmu kalam?
·         Bagaimana pandangan para tokoh terhadap ilmu kalami?


c.       Tujuan Penulisan 
·         Mengetahui sejarah ringkas lahirnya ilmu kalam.
·         Mengetahui dan melihat bagaimana pandanga para tokoh terhadap ilmu kalam.


BAB II
PEMBAHASAN
 A.     Sejarah Munculnya Ilmu Kalam
Generasi umat islam terbaik adalah generasi pada masa Rasulullah saw dan kemudian para sahabat. Generasi inilah yang hidup langsung dari bimbingan wahyu dan belum terintimidasi dari berbagai pengaruh luar, sehingga tauhid yang ada benar-benar terpelihara karena para sahabat hidup di bawah bimbingan Rasulullah saw yang dibimbing oleh Allah swt secara langsung melalui malaikatnya.
Beberapa dekade setelah Rasulullah saw wafat, permasalahan di mulai muncul di antara kaum muslimin, baik yang disebabkan oleh pihak yang ingin menghancurkan islam maupun dari pihak umat islam sendiri. Contohnya adalah peristiwa perang riddah pada masa Abu Bakar ra, adanya nabi palsu, pembunuhan Umar bin Khattab ra, pembunuhan  Usman bin Affan ra, pembunuhan Ali bin Abi Thalib ra dan berbagai peristiwa besar lainnya yang menimpa kaum muslimin.
Pembunuhan terhadap khalifah rasyidin yang ketiga, Usma bin Affan ra sebenarnya membawa umat islam ke dalam suatu babak peradaban yang baru. Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi khalifah di tengah huru-hara masyarakat yang sangat bergejolak, anatara penuntut darah Usman, penuntut keadilan dan pemberontak. Puncak pergolakan pada masa khalifah Ali adalah perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dengan Ummul Mukminin Aisyah ra dalam perang Jamal dan dengan Muawwiyah bin Abi Sofyan ra dalam perang Shiffin.
Peperangan yang terjadi dengan Muawwiyah menjadi titik penentu bagi lahirnya beberapa sekte dan aliran dalam Islam kala itu. Pada saat ini lah munculnya Syiah yang mengaku sebagai pendukung setia Ali bin Abi Thalib ra, munculnya Khawarij yang merupakan golongan yang tidak setuju denga langkah perundingan yang diambil Ali bin Abi Thalib tehadap Muawwiyah dan munculnya satu kelompok lagi sebagai pendukung loyal Muawwiyah bin Abi Sufyan ra.
Di sisnilah permulaan dari munculnya pembahasan-pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan yang kemudian dikenal dengan ilmu kalam. Namun demikian ini belum menjadi suatu cabang ilmu tersendiri. Setelah terjadi pembunuhan terhadap Ali bin Abi Thalib ra, timbullah aspek lain yang dijadikan bahan perdebatan dan berselisih yang pada akhirnya menjelma menjadi wujud  berbagai cabang ilmu keislaman yang didukung oleh berbagai sekte.
Abad ketiga hijjriyyah, yaitu pada masa daulah Abbasiyyah muncullah perdebatan yang mebuat umat islam semakin gemar membahas tentang dasar-dasar dari akidah islam sendiri yang dikenal dengan ilmu kalam. Syahrastani (w. 1153 M) menyatakan bahwa ilmu kalam secara definitif lahir pada masa Abbasiyyah tepatnya pada masa khalifah al Ma’mun (813 M – 833 M) dengan Mu’tazilah sebagai dalang utama (Esha, 2010 : 28).

B.     Pandanngan Para Tokoh
Sebagaimana diketahui bersama, puncak keemasan dari peradaban ilmu pengetahuan adalah pada masa Abbasiyyah, tepatnya pada masa al Ma’mun. Sebagaimana pembahasan pada bagian sebelumnya, ilmu kalam mencapai puncak pada masa ini dengan mu’tazilah sebagai dalang utama. Pada masa ini pula banyak tokoh ilmuwan, ulama, pemikir dan filosof islam lahir. Semua tokoh ini turt mengalami dan merasakan bagaimana kondisi perdebatan dan perpecahan masalah i’tiqadiyyah dalam islam pada masa ini. Berikut merupakan beberapa tokoh yang menanggapi permasalahan ilmu kalam.
1.      Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah merupakan perintis dari Mazhab Fiqhiyyah Hanafi yang bedomisili di Kufah dan Bashrah. Beliau dan para pengikut mazhabnya di kena; sebagai ahl ra’yi.
Pada awalnya beliau termasuk salah satu orang yang tekun mempelajari filsafat dan ilmu kalam sehingga beliau termasuk salah satu orang yang sudah mumpuni dalam masalah ini. Namun semuanya berubah pada saat seorang wanita mengahadapnya dan meminta fatwa terhadap masalah fiqh dan beliau tidak bisa menjawab. Di sisnilah menjadi awal pencerahan bagi sang Imam dan melihat bahwa Ilmu Kalam tidak memberikan manfaat sekalipiun untuk kehidupan. Belum lagi beliau melihat pembahasan yang menjadi bahan pembicaraan mutakallimin yaitu masalah-masalah yang dapat menimbulkan keraguan terhadap dalil-dalil naqliy.
Suatu hari beliau melihat anaknya duduk dengan sekelompok orang dan sibuk membahas permasalahan ilmu kalam, beliau berkata kepada anaknya setelah melalui perdebatan panjang,” Wahai anakku, mereka yang berdebat dalam Ilmu Kalam, pada mulanya adalah bersatu pendapat dan agama mereka satu. Namun setan mengganggu mereka sehingga mereka bermusuhan dan berbeda pendapat”. Pada saat yang lain beliau ditanya oleh seseorang,” “Apakah pendapat anda tentang masalah baru yang dibicarakan orang-orang dalam Ilmu Kalam, yaitu masalah sifat-sifat dan jism?” Beliau menjawab,”itu adalah ucapan-ucapan para ahli filsafat. Kamu harus mengikuti hadits Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam dan metode para ulama salaf. Jauhilah setiap hal yang baru karena hal itu adalah bid’ah”. (sumber : Al-Makki, Manaqib Abu Hanifah, hal.183-184 dari http://www.almanhaj.or.id/content/1191/slash/0).

2.      Imam Malik
Imam Malik bin Anas adalah perintis dari mazhad Fiqh Maliki. Beliau dan pengikutnya dikenal sebagai ahlul hadits yang berdomisili di Madinah dan sangat berpegang teguh pada hadits dan kehidupan ahli madinah. Terhadap ilmu kalam beliau memiliki penolakan yang sangat tegas.
Imam Abdil Bar meriwayatkan dari Mush’ab bin Abdullah bin az Zubairi, bahwa Imam Malik berkata,”Saya tidak menyukai Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri ini juga tidak menyukainya, dan melarangnya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali di dalam terkandung amal. Adapun Kalam di dalam agama, bagi saya lebih baik diam saja”. Di kesempatan yang lai  beliau juga berkata,” “Setiap ada orang datang kepada kita, ia ingin berdebat. Apakah ia bermaksud agar kita ini menolak apa yang telah dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam?” (sumber : Jami’ Bayan al-’Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415 dari http://www.almanhaj.or.id/content/1885/slash/0).
3.      Imam Syafi’i
Beliau adalah Muhammad bin Idris as Syafi’i yang merupakan perintis dari berdirinya mazhab Syafi’i yang dikenala sebagai penyatu antara pemikiran ahl ra’yi Abu Hanifah dan pemikiran ahl Hadits imam Malik. Beliau merupakan orang pertama yang meletakkan dasar-dasar penggalian hukum atau istinbatul ahkam yang kemudian menjadi cabang ilmu ushul fiqh. Terhadap empat mazhab besar fiqh, san Imam mempunyai pertalian ang istimewa dibandingkan dengan yang lain. Dengan Imam Abu Hanifah, beliau lahir pada saat Imam Abu Hanifah meninggal dan beliau pernah duduk berunding dengan murid besar imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Malik dan Imam Syafi’i mempunyai banyak murid salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Imam Ahmad pernah menyatakan bahwa Imam Syafi’i lebih menyukai hadits dalam menyampaikan fatwanya dan sifatnya yang paling baik adalah semangat terhadap ilmu fiqh dan membenci ilmu kalam.
Abu Tsaur dan Husain bin ‘Ali Al-Karabisiy, keduanya berkata: Kami pernah mendengar Asy-Syafi’i berkata,“Menurutku hukuman yang pantas untuk ahli ilmu kalam adalah dipukuli dengan pelepah kurma, dinaikkan di atas unta, dan dibawa keliling ke tengah-tengah khalayak ramai, lalu diserukan [kepada mereka]: Inilah balasan bagi orang-orang yang meninggalkan al-kitab dan as-sunnah dan memilih ilmu kalam.”(sumber : Tawali At-Ta’sis hal. 111 dikutip dari http://ibnabid.wordpress.com/2007/06/03/al-imam-asy-syafii-dan-ilmu-kalam/).

4.      Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal adalah perintis bagi berdirinya mazhab Hanbali. Beliau berdomisili di Baghdad dan dikenal sebagai orang yang sangat membela sunnah. Beliau pernah merasakan bagaimana hukuman akibat permasalahan ilmu kalam yang sedang gencar-gencarnya pada masa khlaifah al Ma’mun, karena menentang kaum Mu’tazilah yang merupakan aliran kerajaan pada masa itu.
Terhadap ilmu kalam dan para mutakallimin beliau sangat berhati-hati. Beliau melarang bermajlis dan bertukar pikiran dengan mereka walaupun para mutakallimin tersebut terlihat mebela sunnah. Karena menurut beliau hal tersebut tidak akan membawa kebaikan. Beliau juga memperingatkan muridnya untuk sangat berhati terhadap ilmu kalam.

5.      Imam Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al Ghazali merupakan pemikir dan filosof islam terkemuka yang merupakan hujjatul islam salah satu tokoh mazhab Syafi’i. Pada masa hidupnya keilmuan mencapai puncak kejayaan. Ibn Khaldun (w.1153 M) dalam (Esha, 2010 : 28) menjelaskan bahwa pada masa al Ghazali ilmu kalam mencapai masa kematangan. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran al Ghazali merupakan potret dari sebuah kondisi dimana perkembangan ilmu kalam boleh dikatakan telah mencapai fase yang lebih kompleks dan sempurna dibandingkan masa sebelumnya.
Ruang lingkup ilmu kalam pembahasan ilmu kalam menurut perspektif al Ghazali seperti tercermin di dalam berbagai karyanya adalah :
·      Ketuhanan, yang meliputi zat Tuhan sperti wujud Tuhan dan lainnya, berkenaan dengan sifat Tuhan yang berkenaan dengan Zat dan perbuatan Allah terhadap makhluk.
·      Kenabian dan kerasulan
·      Hari akhir sperti keadaan mahsyar, timbangan, para malaikat dan lain sebagainya.
Pada masa ini serangan terhadap akidah islam semakin marak terjadi dengan mencampur adukkan filsafat Yunani yang berasal dari penerjemahan kitab-kitab kuno ke dalam bahasa arab, telah menjadikan al Ghazali sebagai pemikir ulung yang dituntut uoleh kondisi masa itu mempelajari ilmu kalam. Tujuan dari ini adalah untuk mencegah pencemaran akidah yang dilakukan pihak-pihak yang ingin merusak islam, terutama terhadap orang-orang yang masih awam dalam persoalan ini.
Pada masa ini seolah terjadi perang pikiran dan ideologi antara al Gazali dengan ahli kalam dan para filosof lainnya. Hal tersebut tercermin dari karya al Ghazali, Thahafut al Falasifah yang menyerang para filosof dan mutakallimin akan ketidakjelasan pemikiran mereka. Karya ini kemudian dijawab dan dibantah oleh Ibn Rusydi dengan karyanya Thahafut Thahafutil Falasifah.
Walaupun al Ghazali merupakan ikon dari ilmu kalam abad pertengahan dengan ilmunya yang mumpuni dalam bidang ini, beliau juga mewanti-wanti kepada masyarakat untuk berhati-hati dan menghindari mempelajari ilmu kalam dan perdebatan dengan para ahli kalam. Hal ini tergambar dari perkataan beliau di suatu waktu bahwa manusia yang memiliki banyak keraguan pada saat kematian adalah para ahli kalam.
Sirajuddin Zar dalam bukunya menyatakan bahwa menurut al Ghazali ada beberapa hal yang membuat filosof dan mutakallimin semakin jauh dari akidahnya dan bahkan bisa menyebabkan kekafiran bagi mereka adalah : pertama, anggapan mereka bahwa alam dan segala substansi adalah qadim. Kedua, anggapan mereka bahwa Allah swt tidak mengetahui secara terperinci segala sesuatu yang terjadi di alam. Ketiga, pengingkaran mereka terhadap pembangkitan jasmani pada hari akhir (Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya, 2004 :163).

6.      Al Taftazzani
Kalau al Ghazali mewakili ilmu kalam adab permulaan kemajuan ilmu pengetahuan, maka pada abad pertengahan ilmu kalam diwakili oleh pemikiran Imam al Taftazzani (1250 M – 1500 M).
In’am Esha menyatakan bahwa pokok persoalan ilmu kalam menurut al Taftazzani seperti dalam karyanya al Maqasid adalah : Pertama, Pendahuluan yang meliputi bentk keilmuan dari ilmu kalam dan persoalan argumentasi. Kedua, metafisika yang meliputi pembahasan wujud dan ‘adam, materi (zat) dan sebagainya. Ketiga, esensi yang meliputi jism, bagian ruh dan lainnya. Keempat masalah ketuhanan atau ilahiyyat yang meliputi zat Tuhan, perbuatan Tuhan dalam hubungan dengan manusia. Kelima, masalah kenabian, hari akhir dan imamah (Falsafah Kalam Sosial, 2010 : 30).

7.      Ashgar Ali Engineer
Beliau merupakan tokoh pemikir kelahiran India pada 10 Maret 1940, merupakan pimpinan Syiah Ismailiyyah Daudi Bohras India. Terhadap ilmu kalam, Ashgar mempunyai pandangan sendiri yang kemudian lebih kenal luas dengan Kalam (teologi) Pembebasan.
In’am Esha menyatakan dalam bukunya bahwa Ashgar mencetuskan kalam pembebasannya untuk membekali masyarakat muslim secara ideo teologis yang diperlukan dalam rangka untuk mengentaskan masyarakat Islam dari penindasan dan keterbelakangan yang dialami pada masa itu (Falsafah Kalam Sosial, 2010 : 87).
Metode kalam pembebasan yang dicetuskan oleh Ashgar adalah :
·      Metode dekonstruksi, yaitu metode dengan cara membongkar kalam tradisional yang hanya sebatas ritual, dogma yang tidak memiliki ruh dan bahkan banyak digunakan untuk kepentingan rezim penguasa tertentu pada masa itu.
·      Metode hermeutik, yaitu dengan cara menjelaskan dan menelusuri kembali pesan-pesan yang disampaikan oleh al quran dan hadits.
·      Metode analisis praktis sosial, merupakan metode dengan sikap liberatif antara apa yang sudah ada dengan apa yang seharusnya ada.

8.      Nurchalis Madjid
Tokoh kelahiran Jawa Timur 17 Maret 1939 merupakan salah satu pemikir besar yang oleh sebagian kelompok dianggap sebagai pembaharu islam di Indonesia khususnya, sementara kelompok lainnya menganggap tokoh orientalis yang ingin merusak Islam.
Terlepas dari semua pro dan kontra terhadap Nurchalis Madjid, beliau merupakan salah seorang pemikir yang menyatakan bahwa objek ilmu kalam saat ini tidak lagi terbatas pada permasalahan yang sudah menjadi objek pada masa sebelumnya, namun lebih luas. Salah satu pendapatnya adalah Kalam Pluralisme yang menganggap bahwa semua agama pada hakikatnya adalah sama  dan Islam adalah agama Universal.
Dalam mengeluarkan teori Kalam Pluralisme ini, Nurchalis melakukan dua pendekatan, yaitu : Pertama, pendekatan historis yaitu dengan melihat hubungan antar agama dalam sejarah, terutama agama samawi seperti keterkaitan Islam, Kristen dan Yahudi. Kedua,pendekatan sosiologis yaitu dengan melihat interaksi dari masing-masing agama dan hubungannya dengan agama lain.
Menurut Nurchalis Madjid, pluralisme adalah sunnatullah sebagaimana tercantum di dalam al Quran surat al Hujurat ayat 13. Menurut beliau dunia saat ini adalah dunia pluralitas karena pengaruh globalisasi telah merambah ke seluruh dunia. Kehidupan umat beragama yang transparan ini harus memilikimisi yang tepat tentang agama merekadan komunitas lainnya dengan kesadaran positif akan perbedaannya. Masing-masing komunitas sebaiknya memahami dan mempertimbangkan secara serius kesadaran masing-masing kelompok akan segala perbedaan.




DAFTAR PUSTAKA

Esha, Muhammad In’am. 2010. Falsafah Kalam Sosial. Malang : UIN – Maliki Press

Mulyono dan Bashori. 2010. Studi Ilmu Tauhid / Kalam. Malang : UIN-Maliki Press

Syukur, M. Amin. 2003. Teologi Islam Terapan : Upaya Antisipasif terhadap Hedonisme Kehidupan. Solo : PT Serangkai Pustaka Mandiri

Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada


http://abuzuhriy.com/pandangan-imam-yang-empat-mengenai-ilmu-kalam/ ( diakses pada tanggal 10 Maret 2013 jam 12.38 WIB)


Ushul Fiqh - Ijma' dan Qiyas

BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sumber hukum islam adalah alquran dan alhadits. Al quran yang merupakan wahyu Allah kepada Muhammad saw dan al hadits sebagai penjelas al quran sangatlah tidak terbantahkan.
Namun begitu keadaan Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber hukum islam setelah al quran dah hadits juga tidak bias diabaikan begitu sajadi dalam setiap keputusan hukum yang ada. keadaan alam, kehidupan peradaban manusia yang senantiasa berkembang pastinya akan terus melahirkan hal – hal baru yang membutuhkan kepada hukum baru yang belum ada kejadiannya pada masa nabi Muhammad saw. Di sinilah diperlukannya peranan dari ijma’ dan qiyas dalam menentukan suatu hukum terhadap perkara baru yang belum ditetapkan secara qath’I di dalam al quran dan hadits.

B.     Permasalahan
·         Apa yang dimaksud dengan ijma’? Apa saja macam – macam ijma’? Bagaimana syarat suatu ijma’? Dan bagaimana kehujjahan ijma’ itu sendiri?
·         Apa yang dimaksud dengan qiyas? Apa saja rukun Qiyas? dan bagaimana kehujjahan qiyas itu sendiri?

C.     Tujuan Pembahasan
·         Mengetahui hal – hal yang berkenaan dengan sumber hukum islam setelah al quran dan hadits, yaitu ijma’ dan qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN

Ijma’
A.      Pengertian Ijma’
Secara bahasa, ijma’ memiliki dua pengertian. Pertama  ijma’ adalah bermaksud atau berniat. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh al Quran surat Yunus ayat 71 :
......hai kaumku, jika nkamu merasa berat bagimu tinggal bersamaku dan peringatanku kepadamudengan ayat Allah, maka kepada Allahlah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu . . . .”
Maksud dari ayat inbi adalah kebulatan tekat dan kesungguhan para pengikut nabi Yunus as yang harus mengikuti jalan yang beliau  tempuh. Kedua, ijma’ memiliki arti sepakat atau ittifaq tehadap sesuatu. Hal ini sebagaimana pernyataan al Quran surat Yusuf ayat 15 yang berbunyi :
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur . . . . “
Pada ayat ini menyatakan bahwa saudara nabi Yusuf telah sepakat untuk melakukan kejahatan yaitu memasukkan Yusuf ke dalam sumur. Perbedaan keduanya adalah pada poin pertama bisa dilakukan sendiri atau banyak, sedangkan pada permasalahan kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih ( Rahmat Syafe’i, 2010 : 69 )
Adapun menurut istilah, para ulama masih berbeda pendapat dalam mendefinisikan arti ijma’ itu sendiri. Pengarang kitab Fushulul Bada’ berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari ijma’ umat Muhammad saw dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’. Sedangkan menurut al Kamal bin Hamam, ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad saw terhadap masalah syara’.
Dari kedua definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa ijma’ merupakan :
a.       Kesepakatan seluruh mujtahid dari ijma’ umat Muhammad saw.
b.      Ijma’ dilakukan setelah rasulullah saw wafat
c.       Ijma’ berkaitan dengan hukum syara’.
B.       Pembagian Ijma’
Secara umum ijma’ dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Ijma’ Sharih atau Ijma’ Qauliy
Ijma’ Qauliy adalah ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid baik secara lisan maupun tulisan yang mengeluarkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain pada zamannya (Beni Ahmad Saibeni, dkk,2009 : 169).
Hal ini bisa terjadi nbilas semua mujtahid berkumpul di suatu tempat kemudian masing – masing mengeluarkan pendapat terhadap suatu perkara. Setelah itu mereka menyepakati salah satu dari pendapat yang mereka keluarkan tersebut. Selain itu, bisa juga juga seorang mujtahid mengeluarkan fatwa terhadap suatu perkara yang timbul pada masanya, kemudian fatwa tersebut diikuti oleh para mujtahid sesudahnya dan mereka setuju dan sepakat dengan pendapat tersebut ( Rahmat Syafe’i, 2010 : 72)
2.      Ijma’ Sukutiy atau Ijma’ Ghairu Sharih
Ijma’ sukuty merupakan pendapat sebagian ulama tentang masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tetapi mereka diam tidak menyepakati ataupun menolaknya penadapat tersebut secara jelas.
Ijma’ sukutiy dikatakan sah bila :
a.       Diamnya para mujtahid betul – betul tidak menunjukkan kesepakatan atau penolakan.
b.      Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama
c.       Masalah yang difatwakan bersifat ijtihadi yang berasal dari dalil – dalail dhanniy.
Namun begitu, masih ada para ahli yang menggolongkan ijma’ ke dalam beberapa golongn selain yang dua di atas sebagai yang tertera di dalam buku Fiqh Ushul Fiqh yaitu :
1.      Ijma’ sahabat
2.      Ijma’ khalifah empat
3.      Ijma’ Abu Bakar dan Umar
4.      Ijma’ ulama Madinah
5.      Ijma’ ulama Kufah dan Basrah
6.      Ijma’ ulama itrah atau ijma’ Kaum Syiah
C.      Syarat – Syarat Ijma’
·         Yang bersepakat adalah para mujtahid
Kesepakatan orang awam atau orang yang belum mencapai tingkat mujtahid tidak dikatakan dengan ijma’, begitu pula dengan penolakan mereka. Karena mereka tidak ahli dalam menelaah hukum syariah.
·         Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakat terhadap suatu perkara sementara yang lainnya, meskipun sedikit, maka menurut jumhur tidak bisa dikatakan dengan ijma’, karena ijma’ harus mencakup semua mujtahid.
·         Para mujtahid adalah umat Nabi Muhammad saw
·         Dilakukan setelah wafatnya Nabi Muhammad saw
Ijma’ tidak terjadi pada masa nabi Muhammad saw masih ada, karena nabi selalu menyetujui perbuatan – perbuatan para sahabat yang dipandang baik dan dianggap sebagai syariat.
·         Kesepakatan harus berhubungan dengan syar’i
Maksudnya adalah kesepakatan para mujtahid haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat seperti tentang wajib, sunnah, makruh, haram dan lainnya.

B.       Kehujjahan Ijma’
Ulama ushulliyyin berpendapat bahwa ijma’ merupakan hujjah syar’iyyah dan sumber hukum islam. Sementara kaum khawarij berpendapat bahwa ijma’ yang bisa dijadikan hujjah hanyalah ijma’ para sahabat nabi pada saat islam masih bersatu dan belum terjadi perpecahan (Beni Ahmad Saebani,dkk,2009:170).
Kehujjahan ijma’ berdasarkan dalil – dalil :
1.      Al Quran surat an Nisa ayat 115
dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam. . . . “
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang – orang yang menentang Rasul setelah jelas semua kebenaran. Kebenaran yang dibawa oleh nabi Muhammad saw telah disepakati oleh umat islam, artinya sudah ijma’. Adapaun orang yang tidak mengikuti jalan orang mukmin merupakan orang yang menentang ijma’ atau kesepakatan dari umat islam sendiri.
2.      Al Quran surat al Baqarah ayat 143
dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu.  . .....”
Ijma’ yang dilakukan oleh umat Muhammad saw haruis dijadikan sumber hukum dan hujjah syar’iyyah karena umat Muhammad memilikin sikap keseimbangan dalam setiap hal
3.      Al Quran surat Ali Imran ayat 103
dan berpegang teguhlah kamu kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai....”
Perintah Allah kepada umat islam adalah untuk berpegang kepada tali agama Allah dan jangan berpecah belah. Ayat ini secara tidak langsung memandang ijma’ sebagai bagian dari upaya berpegang kepada tali Allah, yaitu berpegang pada kebenaran dari Allah. Adapun cerai berai merupakan suatu ungkapan yang mengharuskan kita untuk bersatu taua bersepakat dalam setiap hal, termasuk memutuskan hukum yaitu dengan jalan ijma’..

Qiyas
A.       Pengertian Qiyas
Yang dinamakan Qiyas, menurut para ahli ushul fiqh adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash nya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nash nya lantaran adanya persamaan ‘illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.
 Misalnya adalah jual beli pada waktu azan jum’at diserukan adalah suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu makruh. Nash yang menetapkannya adalah firman Tuhan: “wahai orang2 yang beriman, bila telah diserukan untuk bersembahyang pada hari jum’at, segeralah berzikir kepada Allah dan tinggalkanlah berjual beli “(Al-jum’ah : 9).
‘illat hukum dimakruhkan berjual beli pada waktu azan jum’ah diserukan ialah karena perbuatan tersebut melalaikan solat. kemudia peristiwa-peristiwa seperti mengadakan perikatan gadai menggadai, perburuan atau mengadakan perikatan mu’amalah lainnya yang dilakukan pada waktu azan jum’at diserukan, tidak ada nash yang menetapkan hukumnya. Akan tetapi karena ‘illat dari peristiwa-peristiwa tersebut sama dengan ‘illat peristiwa berjual beli yang dilakukan pada wakyu azan jum’at, yakni melalaikan solat yang hukumnya makruh.

B.        Pemabagian Qiyas
Qiyas dibagi menjadi :
1.      Qiyas aula. Suatu qiyas yang ‘illat nya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan mempunyai hukum yang lebih utama dari pada tempat menyamakannya. Misalnya mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan uff kepadanya.
2.      Qiyas musawi. Yakni suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan ‘illat hukum yang terdpat pada mulhaq nya adalah sama dengan ‘illat hukum yang terdapat pada mulhaq bih. Misalnya membakar harta benda anak yatim diqiyaskan dengan memakannya yakni sama dengan merusakkan harta dan hukumnya haram.
3.      Qiyas dalalah. Yaknisuatu qiyas dimana ‘illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya. Seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil kepada harta seorang dewasa dalam kewajiban nya mengeluarkan zakat dengan ‘illat bahwa seluruhny adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah.
4.      Qiyas syibhi. Yakni suatu qiyas yang mulhaqnya dapat diqiyaskan kepada mulhaq bih, akan tetapi iya diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaan dengan mulhaq. Misalnya seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang. Budak yang dirusakkan itu dapat diqiyaskan dengan orang merdeka, karena memang keduanya adalah sama-sama keturunan Adam dan dapat juga diqiyaskan dengan harta benda, karena keduanya adalah sama-sama dapat dimiliki.tetapi budak tersebut diqiyaskan dengan harta benda. Yaitu sama-sama dapat diperjual belikan, dihadiahkan, diwariskan, dan sebagainya. Oleh karena sahaya tersebut diqiyaskan dengan harta benda, maka hamba yang dirusakkan itu dapat diganti dengan yang senilai.

C.       Rukun Qiyas
Ada beberapa rukun Qiyas, yaitu :
1.      Ashal (pokok)  yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash nya yang dijadikan tempat mengqiyaskan.
2.      Far’u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nash nya dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalnya.
3.      Hukum ashal. Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabang nya.
4.      ‘illat. Ialah suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashal. Yang karena adanya sifat itu, maka peristiwa ashal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum peristiwa yang ashal.

D.       Kehujjahan Qiyas
Humhur ulama berpendirian bahwa qiyas itu adalah menjadi hujjah syar’iyah (sumber hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia, dan berada pada tingkatan keempat dari dalil-dalil syari’at. Alasan yang dikemukakan oleh jumhur ulama dalam menetapkan kehujjahan qiyas terdiri dari al-quran, as-sunnah, pendapat dan perbuatan para sahabat dan logika.
Contoh dalil dari Al-quran :
يأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم, فإن تزعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر, ذلك خير وأحسن تأويلا (انساء : 59)
Artinya “ hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan rasulnya dan orang-orang yang memegang kekussaan diantara kamu.kemudian jika kamu berlainan pendapat dari sesuatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan rasulnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemuadian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. ( An-nisa : 59)
Contoh dalil as-sunnah :
Sabda rasulullah SAW dalam membai’at mu’az bin jabal sebagai wali kota di Yaman, katanya : bagaimanakah kamu memutusi perkara bila dikemukakan masalah kepadamu? Jawab mu’az : aku memutuskan dengan kitabullah. Maka jika jika maslah itu tidak terdapat didalam kitab Allah? Tanya Rasul slanjutnya. Maka dengan sunnah rasul. Jawabnya. Kemudian Rasul menanyakan lebih lanjut : jika masalah itu tidak terdapat dalam sunnah rasul?. Aku berijtihad dengan pendapatku dan berusaha segenap tenaga, katanya. Lalu mu’az meneruskan ceritanya, ujarnya Rasul telah menepuk dada saya dan seraya bersabda : segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan rasul karena telah membuat keredhaan Allah dan Rasulnya ( RW. Abu Dawud, At-Yurmizi dan An-Nasa’i).
Logika :
Analisa-analisa yang logis yang mereka pergunakan untuk menetapkan penghujjahan Qiyas adalah sebagai berikut :
a.       Allah ta’ala tidaklah menetapkan hukum bagi hambanya sekiranya tidak untuk kemaslahatan hamba itu.
b.      Nash-nash Al-quran dan as-sunnah itu adalah terbatas. Sedang kejadian-kejadian pada manusia itu tidak terbatas dan tidak berakhir. Oleh karena itu tidak mungkin nash-nash yang terbatas itu dijadikan sebagai sumber terhadap kejadian-kejadian yang tidak trebatas, dengan demikian qiyas merupakan sumber yang dapat mengikuti kejadian-kejadian baru dan dapat menyesuaikan dengan kemaslahatan.
c.       Qiyas adalah dalil yang sesuai dengan naluri manusia dan logika yang sehat. 
Hubungan antara Ijma’ dan Qiyas
Dalam hubungannya dengan ijma’, qiyas sering dikatakan sebagain sandaran ijma’. Namun begitu, para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa ijma’ adalah qaht’i sementara ijma’ adalah dhanniy. Menurut kaidah, yang qath”i tidak sah disandarkan kepada yang dhanniy.
Opara ulama yang sepakat mengatakan bahwa qiyas bisa dijadikan sandaran terhadap ijma’ berargumen bahwa ini sesuai dengan pendapat ulama pada jumhur, juga karena qiyas merupakan salah satu dalil syara’ maka sah dijadikan landasan ijma’ sebagai dalil syara’ lainnya. Para ulama ini memberikan contoh dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah dengan mengqiyaskan bahwa pada pada saat sakit keras nabi pernah menyuruh Abu Bakar untuk menjadi imam shalat.
  
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Selain al quran dan hadits, masih ada sumber hukum islam lainnya yang mnenjadi hujjah dalam pengambilan hukum, yaitu ijma dan qiyas.
Ijma’ yang merupakan kesepakatan para mujtahid terhadap suatu perkara bisa dijadikan hujjah sebagaimana dalil – dalil yang telah dikemukakan di atas. Sebagaimana ijma’, qiyas juga merupakan sumber hukum islam yang bisa dijadikan hujah, karena poada hakikatnya dalil ijma’ berasal dari dalil yangh ada di dalam al;l quran.



DAFTAR PUSTAKA

Yahya, Mukhtar. 1986. Dasar – Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung : al Maarif

Syafe’i, Rahmat, Prof., DR.. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia


Saebani, Beni Ahmad, Drs., dkk, 2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia