BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang Masalah
Ilmu fiqh adalah
sekumpulan pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat praktis yang
dirumuskan dari dalil – dalil yang terperinci. Ilmu ini memiliki objek kajian
yang sangat luas terhadap segala perbuatan para mukallaf. Di antara pembahasan ilmu ini adalah permasalahan bersuci
atau yang dikenal dengan thaharah.
Hampir setiap kitab-kitab fiqh yang ada dalam khazanah Islam, permasalahan thaharah selalu menjadi bagian pertama yang akan
dibahas dan dijelaskan. Hal ini menunjukkan bagaimana thaharah memang sangat diperlukan dan sangat penting dalam Islam.
Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa ibadah yang paling agung dan paling awal
adalah shalat. Namun kita harus melihat bahwa thaharah merupakan syarat yang pertama sekali dari sekian syarat
shalat. Sehingga dengan thaharahlah
tubuh akan suci dan shalat akan sah.
Bersuci yang dimaksud adalah bersuci dari hadats, najis
dan kotoran lainnya yang kadang kerap sekali jarang kita perhatikan hal-hal
yang seperti ini. Padahal, kesucian yang akan berkelanjutan terhadap shalat
merupakan salah satu hal yang memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
sehari-hari. Bagaimana memang hendak melakukan shalat dengan tubuh yang tidak
suci? Bagaimana hendak melakukan shalat dengan pakaian yang tidak suci?
Bagaimana hendak melakukan shalat dengan tempat yang tidak suci?
Berangkat dari al Quran surat al Mudattsir ayat 1 – 4 : ”Hai orang-orang yang berselimut, bangun lah
dan berikanlah peringatan, dan Tuhanmu, maka agungkanlah. Adapun pakaianmu,
maka sucikanlah”. Kemudian diperkuat oleh sabda nabi Muhammad saw,”kebersihan sebagian dari iman” telah
menunjukkan bahwa thaharah merupakan
hal yang tidak bisa dilewatkan dan dipandang sebelah mata.
b.
Rumusan
Masalah
·
Apa yang dimaksud dengan thaharah?
·
Apa saja yang termasuk dalam thaharah?
·
Apa yang dimaksud dengan hadats?
·
Apa yang dimaksud dengan najis?
·
Bagaimana cara bersuci dari
hadats dan najis?
c.
Tujuan Penulisan
·
Mengetahui makna dari thaharah.
·
Mengetahui tindakan yang
termasuk ke dalam thaharah.
·
Mengetahui hal ihwal hadats
·
Mengetahui hal ihwal najis.
·
Mengetahui caraa bersuci dari
hadats dan najis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Thaharah
B.
Hadats
C.
Najis
1.
Pengertian
Najis
Najis atau najasah
secara bahasa berarti kotoran. Maksudnya adalah sesuatu yang dianggap kotor
oleh orang-orang yang memiliki tabiat yang benardan selalu menjaga diri agar
tidak tercemar. Orang-orang ini akan mencuc pakaian mereka jika terkena najis
ini sperti salah satu contohnya tinja dan kencing.
Sedangkan dalam itilah para fuqaha, najis adalah sesuatu yang berlawanan dengan thaharah. Benda-benda disifati bahwa ia
adalah najis hakiki sedangkan manusia adalah najis hukmi atau najis secara
hukum yang menyebabkan seseorang harus bersuci baik itu dengan berwudhu atau
mandi besar.[1]
2.
Pembagian
Najis dan Cara Menyucikannya
Para ulama Islam secara umum telah sepakat dalam
menggologkan hadits ke dalam beberapa bagian. Terlepas dari perbedaan yang
timbul dari beberapa golongan minoritas, berikut merupakan pembagian najis yang
telah mu’tabarah di kalangan ulama
fiqh:
a.
Najis
Mukhaffafah atau Najis Ringan
Ialah najis yang ringan, seperti air kencing bayi laki-laki
yang usianya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa, selain ASI atau air
susu ibunya. Tapi tidak untuk kencing anak perempuan, karena status
kenajisannya sama dengan Najis Mutawassithah
Cara membersihkannya cukup dengan memercikkan air bersih pada
benda yang terkena Najis tersebut sampai bersih betul.[2]
Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw dibawah ini :
“Barangsiapa yang terkena air kencing anak wanita, harus
dicuci dan jika terkena air kencing anak laki-laki, cukuplah dengan memercikkan
air pada nya”. (H.R. Abu Daud dan An-Nasa’iy)
Syariat telah
membedakan antara bayi laki-laki dan perempuan yang masih menyusu kepada ibunya
karena ada beberapa hikmah yang tersembunyi, diantaranya adalah:[3]
·
Kencing bayi peremuan lebih
bau dan lebih kotor dari kencing bayi laki-laki
·
Kencing bayi perempuan
terpusat pada suatu tempat. Dengan demikian dampak najisnya lebih kuat jika
dibandingkan dengan kencing bayi laki-laki yang menyebar.
·
Sesungguhnya mencuci
kencing bayi perempuan lebih mudah karena dia terpusat pada suatu tempat.
Sementara kencing bayi laki-laki menyebar sehingga diberlakukan keringanan
tersebut.
b.
Najis
Mughalladhah atau Najis Berat
Najis mughalladhah
adalah najis berat yang ditimbulkan oleh anjing dan babi atau segala
sesuatu yang berasal dari keduanya atau salah satunya.
Babi adalah binatang najis berdasarkan al-Qur`an dan
Ijma’ para sahabat Nabi (Ijma’ush Shahabat). Dalil najisnya babi adalah
firman Allah SWT : “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi
karena sesungguhnya semua itu kotor (rijsun),” (QS Al-An’aam : 145) .
Adapun tentang najisnya Anjing, dapat dilihat
dari salah satu hadist, Rasulullah saw Bersabda: “Jika seekor anjing
menjilat bejana salah satu dari pada kamu sekalian, maka hendaknya kamu
menuangkan bejana itu (Mengosongkan isinya) kemudian membasuhnya tuuh kali” ( H.
R. Muslim).
Jika binatang
itu termasuk jenis yang najis, maka semua bagian tubuhnya adalah najis tidak
peduli apakah dalam keadaan hidup atau mati. Cara mensucikannya ialah harus
terlebih dahulu dihilangkan wujud benda najis tersebut. Kemudian baru dicuci
bersih dengan air sampai 7 kali dan permulaan atau penghabisannya diantara
pencucian itu wajib dicuci dengan air yang bercampur dengan tanah (disamak).
Cara ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:
“Sucinya tempat (perkakas) mu apabila telah dijilat
oleh Anjing, adalah dengan mencucikan tujuh kali. Permulaan atau penghabisan
diantara pencucian itu (harus) dicuci dengan air yang bercampur dengan Tanah”.
(H.R. At-Tumudzy)
c.
Najis
Muthawassithah atau Najis Pertengahan
Najis pertegahan adalah najis yang tidak termasuk ke
dalam pembagian yang telah disebutkan sebelumnya seperti kencing, arak, tinja,
bangkai kecuali ikan dan belalang dan lain sebagainya. Ditinjau dari cara
menyucikannya, jenis najis ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
·
Najis
Muthawassithah Ainiy
Merupakan suatu barang atau benda yang bernajis pada
keadaan benda tersebut masih berwujud dan bisa dilihat oleh indra. Cara
mnyucikan najis ini adalah dengan menghilangkan ain atau benda najis tersebut sehingga tidak tersisa bau, warna
rasa dan lainnya.[4]
·
Najis
Muthawassithah Hukmiy
Merupakan najis yang tidak berwujud bendanya sperti
bejas kencing, bekas arak dan lainnya. Cara menyucikannya adalah dengan
mengalirkan air dimana diyakini tempat adanya najis tesebut.
d.
Najis
Ma’fuw atau Najis Yang Dimaafkan
Najis ma’fuw adalah
najis yang sangat ringan dan dimaafkan seandainya terbawa ke dalam shalat atau
jatuh ke dalam minuman dan atau makanan. Contohnya adalah debu yang terbang dan
membawa najis, binatang yang tidak mengalir darahnya dan sedikit darah dan
nanah yang berasal dari luka pada tubuh sendiri.
e.
Mani,
Madzi dan Wadi
·
Mani
Mani adalah air yang memancar dari manusia tatkala
muncul syahwat biologis, yang kemudian dibarengi rasa lemah seteklah keluarnya
air mani tersebut, dan merupakan asal usul dciptakan manusia.
Kalangan mazhab Hanafi menganggap bahwa mani adalah
najis dengan menyandarkan pendapatnya pendapatnya kepada sebuah hadits yang
diriwayatkan Aisyah ra, bahwa beliau mencuci mani yang ada di pakaian Rasulullah
saw dan mengoreknya jika mani itu telah kering. Golongan ini juga mengambil
landasan lain yaitu salah satu hadits yang diriwayatkan dari Ammar bin Yassir
bahwa Rasulullah saw bersabda,”sesungguhnya
yang harus kau cuci dari pakaianmu adalah jika terkena kencing, tinja, munah,
darah dan air mani”(H. R. Al Bazzar, Abu Ya’la)[5]
Sementara golongan yang mengatakan bahwa mani tidak
bernajis seperti golongan madzhab Syai’i menyandarkan pendapatnya kepada sebuah
hadits dari Shahih uslim yang secara gamblamng menyebutkan bahwa Aisyah
ra mengorek-ngorek pakaian Rasullullah saw saat beliau sedang melaksanakan
shalat. Jika memang seandainya ini najis, maka Allah akan mengabarkannya
melalui wahyu kala itu.[6] Abu Syuja’ dalam at Taqrib menyebutkan bahwa setiap
sesuatu yang cair yang keluar dari dubur dan qubul manusia adalah najis,
kecuali mani.
·
Madzi dan Wadi
Madzi adalah sesuatu yang
keluar dari kemaluan laki-laki pada saat melakukan cumbu rayu seksual, atau
memandang berulang-ulang perempuan hingga munculnya syahwat atau sedang
terlarut dalam hayalan permasalahan tersebut namun pada saat keluar, madzi
tidak memancar sebagaimana mani. Adapun wadi adalah cairan putih kental yang
keluar pada saat seseorang buang air kecil.
Dengan demikian, madzi ataupun
wadi keluar dari tempat keluarnya kencing. Madzi dan wadi sama-sama bernajis
dan menyebabkan batalnya wudhu’ sebagaimana halnya kencing.[7]
D.
Hikmah
Islam merupakan agama terakhir
sebagai agama pelengkap dari syariat sebelumnya. Islam memiliki perhatian yang
sangat tinggi terhadap kebersihan dan kesucian. Hal ini dengan sangat gamblang
bdan jelas bisa telihat dari firman Allah swt,”dan pakaianmu, maka sucikanlah (bersihkanlah).”[8]
Agama-agama lain tidak memiliki
perhatian terhadap masalah kesucian dan kebersihan sebagaimana yang diajarkan
Islam, terlepas dari realita oknum umat Islam yang merusak ajaran ini. Islam
sangat peduli dengan kebersihan diri, kebersihan pakaian, kebersihan tempat
tinggal, kebersihan limgkungan hingga tak jarang ditemukannya berbagai slogan
yang mengajak kepada gaya hidup yang bersih.
Kemuliaan makhluk adalah karena
kedekatannya dengan sang Khaliq
walaupun di bawah keberagaman makhluk tersebut sebagiamana firman Allah,”tidak Aku ciptakan seluruh manusia dan jin
kecuali untuk beribadah kepadaKu.” Oleh sebab itu untuk mencapai tujuan ini
Allah menurunkan syariat yang mewajibkan segenap hambanya untuk menjauhkan diri
dari kotoran dan najis dalam segala kondisi, terlebih lagi di dalam shalat yang
merupakan puncak dari proses pendekatan diri makhluk kepada sang Khaliq.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qaradhawi, Yusuf. 2007. Fikih Taharah. Jakarta : Pustaka
Alkautsar
Qadhi Abi Syuja’ Ahmad Bin Husain bin
Ahmad al Ashahaniy.Matnul
Ghayati wat Taqribi.
Medan : Sumber Ilmu
Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi.
I'anah
al-Thalibin Juz 1. Beirut.
Bahreisy, Salim. 1997. Petunjuk Ke Jalan yang Lurus. Surabaya : Darussaggaf
Al Asqalaniy, Ibn Hajar. 2011. Bulughul Maram, terj. Jakarta : Akbar Media
http://kodokkrawu.wordpress.com/2010/08/11/macam-macam-najis-dan-cara-mensucikannya/
diakses pada 19 Maret 2013 jam 16 :12 WIB
[1]. Al Qaradhawi, Yusuf. 2007. Fikih Taharah. Jakarta : Pustaka
Alkautsar halaman 14
[2].
Matnul
Ghayati wat Taqribi lil Qadhi Abi Syuja’ Ahmad Bin Husain bin Ahmad al
Ashahaniy. Medan : Sumber Ilmu halaman 7
[3]. Al Qaradhawi, Yusuf. 2007. Fikih Taharah. Jakarta : Pustaka
Alkautsar halaman 59
[5]
Al Qaradhawi, Yusuf. 2007. Fikih Taharah. Jakarta : Pustaka
Alkautsar halaman 44
[6]
Ibid. halaman 45
[7]. Ibid
halaman 20
[8]. Q. S. Al Mudattsir ayat 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar