BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana
kita ketahui bersama bahwa sumber hukum islam adalah alquran dan alhadits. Al
quran yang merupakan wahyu Allah kepada Muhammad saw dan al hadits sebagai
penjelas al quran sangatlah tidak terbantahkan.
Namun
begitu keadaan Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber hukum islam setelah al quran dah
hadits juga tidak bias diabaikan begitu sajadi dalam setiap keputusan hukum
yang ada. keadaan alam, kehidupan peradaban manusia yang senantiasa berkembang
pastinya akan terus melahirkan hal – hal baru yang membutuhkan kepada hukum
baru yang belum ada kejadiannya pada masa nabi Muhammad saw. Di sinilah
diperlukannya peranan dari ijma’ dan qiyas dalam menentukan suatu hukum
terhadap perkara baru yang belum ditetapkan secara qath’I di dalam al quran dan
hadits.
B.
Permasalahan
·
Apa yang dimaksud dengan ijma’? Apa saja macam – macam ijma’?
Bagaimana syarat suatu ijma’? Dan bagaimana kehujjahan ijma’ itu sendiri?
·
Apa yang dimaksud dengan qiyas? Apa
saja rukun Qiyas? dan bagaimana kehujjahan qiyas itu sendiri?
C.
Tujuan Pembahasan
·
Mengetahui hal – hal yang berkenaan dengan sumber
hukum islam setelah al quran dan hadits, yaitu ijma’ dan qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN
Ijma’
A. Pengertian Ijma’
Secara bahasa, ijma’ memiliki dua pengertian. Pertama ijma’ adalah bermaksud atau berniat. Hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh al Quran surat Yunus ayat 71 :
“......hai kaumku, jika nkamu merasa berat bagimu
tinggal bersamaku dan peringatanku kepadamudengan ayat Allah, maka kepada
Allahlah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu . . . .”
Maksud dari ayat inbi adalah kebulatan tekat dan
kesungguhan para pengikut nabi Yunus as yang harus mengikuti jalan yang
beliau tempuh. Kedua, ijma’
memiliki arti sepakat atau ittifaq tehadap sesuatu. Hal ini sebagaimana
pernyataan al Quran surat Yusuf ayat 15 yang berbunyi :
“ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya
ke dasar sumur . . . . “
Pada ayat ini menyatakan bahwa saudara nabi Yusuf telah
sepakat untuk melakukan kejahatan yaitu memasukkan Yusuf ke dalam sumur.
Perbedaan keduanya adalah pada poin pertama bisa dilakukan sendiri atau banyak,
sedangkan pada permasalahan kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau
lebih ( Rahmat Syafe’i, 2010 : 69 )
Adapun menurut istilah, para ulama masih berbeda pendapat
dalam mendefinisikan arti ijma’ itu sendiri. Pengarang kitab Fushulul Bada’
berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari ijma’ umat
Muhammad saw dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
Sedangkan menurut al Kamal bin Hamam, ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu
masa dari ijma’ Muhammad saw terhadap masalah syara’.
Dari kedua definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa ijma’
merupakan :
a.
Kesepakatan seluruh mujtahid dari ijma’ umat Muhammad
saw.
b.
Ijma’ dilakukan setelah rasulullah saw wafat
c.
Ijma’ berkaitan dengan hukum syara’.
B.
Pembagian
Ijma’
Secara umum ijma’ dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1.
Ijma’ Sharih atau Ijma’ Qauliy
Ijma’
Qauliy adalah ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid baik secara lisan
maupun tulisan yang mengeluarkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain
pada zamannya (Beni Ahmad Saibeni, dkk,2009 : 169).
Hal
ini bisa terjadi nbilas semua mujtahid berkumpul di suatu tempat kemudian
masing – masing mengeluarkan pendapat terhadap suatu perkara. Setelah itu
mereka menyepakati salah satu dari pendapat yang mereka keluarkan tersebut. Selain
itu, bisa juga juga seorang mujtahid mengeluarkan fatwa terhadap suatu perkara
yang timbul pada masanya, kemudian fatwa tersebut diikuti oleh para mujtahid
sesudahnya dan mereka setuju dan sepakat dengan pendapat tersebut ( Rahmat
Syafe’i, 2010 : 72)
2.
Ijma’ Sukutiy atau Ijma’ Ghairu Sharih
Ijma’
sukuty merupakan pendapat sebagian ulama tentang masalah yang diketahui oleh
para mujtahid lainnya, tetapi mereka diam tidak menyepakati ataupun menolaknya
penadapat tersebut secara jelas.
Ijma’
sukutiy dikatakan sah bila :
a.
Diamnya para mujtahid betul – betul tidak menunjukkan
kesepakatan atau penolakan.
b.
Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama
c.
Masalah yang difatwakan bersifat ijtihadi yang berasal
dari dalil – dalail dhanniy.
Namun begitu, masih ada para ahli yang menggolongkan
ijma’ ke dalam beberapa golongn selain yang dua di atas sebagai yang tertera di
dalam buku Fiqh Ushul Fiqh yaitu :
1.
Ijma’ sahabat
2.
Ijma’ khalifah empat
3.
Ijma’ Abu Bakar dan Umar
4.
Ijma’ ulama Madinah
5.
Ijma’ ulama Kufah dan Basrah
6.
Ijma’ ulama itrah atau ijma’ Kaum Syiah
C.
Syarat
– Syarat Ijma’
·
Yang bersepakat adalah para mujtahid
Kesepakatan
orang awam atau orang yang belum mencapai tingkat mujtahid tidak dikatakan
dengan ijma’, begitu pula dengan penolakan mereka. Karena mereka tidak ahli
dalam menelaah hukum syariah.
·
Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila
sebagian mujtahid bersepakat terhadap suatu perkara sementara yang lainnya,
meskipun sedikit, maka menurut jumhur tidak bisa dikatakan dengan ijma’, karena
ijma’ harus mencakup semua mujtahid.
·
Para mujtahid adalah umat Nabi Muhammad saw
·
Dilakukan setelah wafatnya Nabi Muhammad saw
Ijma’
tidak terjadi pada masa nabi Muhammad saw masih ada, karena nabi selalu
menyetujui perbuatan – perbuatan para sahabat yang dipandang baik dan dianggap
sebagai syariat.
·
Kesepakatan harus berhubungan dengan syar’i
Maksudnya
adalah kesepakatan para mujtahid haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan
syariat seperti tentang wajib, sunnah, makruh, haram dan lainnya.
B. Kehujjahan Ijma’
Ulama ushulliyyin berpendapat bahwa ijma’ merupakan
hujjah syar’iyyah dan sumber hukum islam. Sementara kaum khawarij berpendapat
bahwa ijma’ yang bisa dijadikan hujjah hanyalah ijma’ para sahabat nabi pada
saat islam masih bersatu dan belum terjadi perpecahan (Beni Ahmad Saebani,dkk,2009:170).
Kehujjahan ijma’ berdasarkan dalil – dalil :
1.
Al Quran surat an Nisa ayat 115
“dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, kami
biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami
masukkan ia ke dalam jahannam. . . . “
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang – orang yang
menentang Rasul setelah jelas semua kebenaran. Kebenaran yang dibawa oleh nabi
Muhammad saw telah disepakati oleh umat islam, artinya sudah ijma’. Adapaun
orang yang tidak mengikuti jalan orang mukmin merupakan orang yang menentang
ijma’ atau kesepakatan dari umat islam sendiri.
2.
Al Quran surat al Baqarah ayat 143
“dan
demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat islam) sebagai umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu.
. .....”
Ijma’
yang dilakukan oleh umat Muhammad saw haruis dijadikan sumber hukum dan hujjah
syar’iyyah karena umat Muhammad memilikin sikap keseimbangan dalam setiap hal
3.
Al Quran surat Ali Imran ayat 103
“ dan
berpegang teguhlah kamu kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai
berai....”
Perintah
Allah kepada umat islam adalah untuk berpegang kepada tali agama Allah dan
jangan berpecah belah. Ayat ini secara tidak langsung memandang ijma’ sebagai
bagian dari upaya berpegang kepada tali Allah, yaitu berpegang pada kebenaran
dari Allah. Adapun cerai berai merupakan suatu ungkapan yang mengharuskan kita
untuk bersatu taua bersepakat dalam setiap hal, termasuk memutuskan hukum yaitu
dengan jalan ijma’..
Qiyas
A. Pengertian Qiyas
Yang
dinamakan Qiyas, menurut para ahli ushul fiqh adalah mempersamakan hukum suatu
peristiwa yang tidak ada nash nya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada
nash nya lantaran adanya persamaan ‘illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.
Misalnya adalah jual beli pada waktu azan jum’at diserukan adalah suatu peristiwa
yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu makruh. Nash yang menetapkannya
adalah firman Tuhan: “wahai orang2 yang beriman, bila telah diserukan untuk
bersembahyang pada hari jum’at, segeralah berzikir kepada Allah dan
tinggalkanlah berjual beli “(Al-jum’ah : 9).
‘illat hukum dimakruhkan berjual beli pada waktu azan
jum’ah diserukan ialah karena perbuatan tersebut melalaikan solat. kemudia
peristiwa-peristiwa seperti mengadakan perikatan gadai menggadai, perburuan
atau mengadakan perikatan mu’amalah lainnya yang dilakukan pada waktu azan
jum’at diserukan, tidak ada nash yang menetapkan hukumnya. Akan tetapi karena
‘illat dari peristiwa-peristiwa tersebut sama dengan ‘illat peristiwa berjual
beli yang dilakukan pada wakyu azan jum’at, yakni melalaikan solat yang
hukumnya makruh.
B.
Pemabagian
Qiyas
Qiyas dibagi
menjadi :
1. Qiyas aula. Suatu
qiyas yang ‘illat nya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan mempunyai
hukum yang lebih utama dari pada tempat menyamakannya. Misalnya
mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan uff kepadanya.
2. Qiyas
musawi. Yakni suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan ‘illat
hukum yang terdpat pada mulhaq nya adalah sama dengan ‘illat hukum yang
terdapat pada mulhaq bih. Misalnya membakar harta benda anak yatim diqiyaskan
dengan memakannya yakni sama dengan merusakkan harta dan hukumnya haram.
3. Qiyas
dalalah. Yaknisuatu qiyas dimana ‘illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum,
tetapi tidak mewajibkan hukum padanya. Seperti mengqiyaskan harta milik anak
kecil kepada harta seorang dewasa dalam kewajiban nya mengeluarkan zakat dengan
‘illat bahwa seluruhny adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah.
4. Qiyas
syibhi. Yakni suatu qiyas yang mulhaqnya dapat diqiyaskan kepada mulhaq bih,
akan tetapi iya diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaan
dengan mulhaq. Misalnya seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang.
Budak yang dirusakkan itu dapat diqiyaskan dengan orang merdeka, karena memang
keduanya adalah sama-sama keturunan Adam dan dapat juga diqiyaskan dengan harta
benda, karena keduanya adalah sama-sama dapat dimiliki.tetapi budak tersebut
diqiyaskan dengan harta benda. Yaitu sama-sama dapat diperjual belikan,
dihadiahkan, diwariskan, dan sebagainya. Oleh karena sahaya tersebut diqiyaskan
dengan harta benda, maka hamba yang dirusakkan itu dapat diganti dengan yang
senilai.
C. Rukun Qiyas
Ada beberapa rukun
Qiyas, yaitu :
1.
Ashal (pokok)
yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash nya yang dijadikan tempat
mengqiyaskan.
2.
Far’u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nash nya
dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalnya.
3.
Hukum ashal. Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh
suatu nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabang nya.
4.
‘illat. Ialah suatu sifat yang terdapat pada peristiwa
yang ashal. Yang karena adanya sifat itu, maka peristiwa ashal itu mempunyai
suatu hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka
disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum peristiwa yang ashal.
D. Kehujjahan Qiyas
Humhur
ulama berpendirian bahwa qiyas itu adalah menjadi hujjah syar’iyah (sumber
hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia, dan berada pada
tingkatan keempat dari dalil-dalil syari’at. Alasan yang dikemukakan oleh
jumhur ulama dalam menetapkan kehujjahan qiyas terdiri dari al-quran,
as-sunnah, pendapat dan perbuatan para sahabat dan logika.
Contoh
dalil dari Al-quran :
يأيها الذين آمنوا أطيعوا
الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر
منكم, فإن تزعتم
في شيء فردوه إلى الله
والرسول إن كنتم تؤمنون بالله
واليوم الآخر, ذلك خير
وأحسن تأويلا (انساء : 59)
Artinya
“ hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan rasulnya dan orang-orang
yang memegang kekussaan diantara kamu.kemudian jika kamu berlainan pendapat
dari sesuatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan rasulnya, jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemuadian. Yang demikian itu lebih
utama bagimu dan lebih baik akibatnya. ( An-nisa : 59)
Contoh
dalil as-sunnah :
Sabda
rasulullah SAW dalam membai’at mu’az bin jabal sebagai wali kota di Yaman,
katanya : bagaimanakah kamu memutusi perkara bila dikemukakan masalah kepadamu?
Jawab mu’az : aku memutuskan dengan kitabullah. Maka jika jika maslah itu tidak
terdapat didalam kitab Allah? Tanya Rasul slanjutnya. Maka dengan sunnah rasul.
Jawabnya. Kemudian Rasul menanyakan lebih lanjut : jika masalah itu tidak
terdapat dalam sunnah rasul?. Aku berijtihad dengan pendapatku dan berusaha
segenap tenaga, katanya. Lalu mu’az meneruskan ceritanya, ujarnya Rasul telah
menepuk dada saya dan seraya bersabda : segala puji bagi Allah yang telah
membimbing utusan rasul karena telah membuat keredhaan Allah dan Rasulnya ( RW.
Abu Dawud, At-Yurmizi dan An-Nasa’i).
Logika
:
Analisa-analisa
yang logis yang mereka pergunakan untuk menetapkan penghujjahan Qiyas adalah
sebagai berikut :
a.
Allah ta’ala
tidaklah menetapkan hukum bagi hambanya sekiranya tidak untuk kemaslahatan
hamba itu.
b.
Nash-nash
Al-quran dan as-sunnah itu adalah terbatas. Sedang kejadian-kejadian pada
manusia itu tidak terbatas dan tidak berakhir. Oleh karena itu tidak mungkin
nash-nash yang terbatas itu dijadikan sebagai sumber terhadap kejadian-kejadian
yang tidak trebatas, dengan demikian qiyas merupakan sumber yang dapat
mengikuti kejadian-kejadian baru dan dapat menyesuaikan dengan kemaslahatan.
c.
Qiyas adalah
dalil yang sesuai dengan naluri manusia dan logika yang sehat.
Hubungan
antara Ijma’ dan Qiyas
Dalam hubungannya dengan ijma’, qiyas sering dikatakan
sebagain sandaran ijma’. Namun begitu, para ulama berbeda pendapat tentang hal
ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa ijma’ adalah qaht’i sementara ijma’ adalah
dhanniy. Menurut kaidah, yang qath”i tidak sah disandarkan kepada yang dhanniy.
Opara ulama yang sepakat mengatakan bahwa qiyas bisa
dijadikan sandaran terhadap ijma’ berargumen bahwa ini sesuai dengan pendapat
ulama pada jumhur, juga karena qiyas merupakan salah satu dalil syara’ maka sah
dijadikan landasan ijma’ sebagai dalil syara’ lainnya. Para ulama ini
memberikan contoh dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah dengan
mengqiyaskan bahwa pada pada saat sakit keras nabi pernah menyuruh Abu Bakar
untuk menjadi imam shalat.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Selain
al quran dan hadits, masih ada sumber hukum islam lainnya yang mnenjadi hujjah
dalam pengambilan hukum, yaitu ijma dan qiyas.
Ijma’
yang merupakan kesepakatan para mujtahid terhadap suatu perkara bisa dijadikan
hujjah sebagaimana dalil – dalil yang telah dikemukakan di atas. Sebagaimana
ijma’, qiyas juga merupakan sumber hukum islam yang bisa dijadikan hujah,
karena poada hakikatnya dalil ijma’ berasal dari dalil yangh ada di dalam al;l
quran.
DAFTAR
PUSTAKA
Yahya, Mukhtar. 1986. Dasar – Dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islam. Bandung : al Maarif
Syafe’i, Rahmat, Prof., DR.. 2010. Ilmu Ushul Fiqh.
Bandung : Pustaka Setia
Saebani, Beni Ahmad, Drs., dkk, 2009. Fiqh Ushul Fiqh.
Bandung : Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar