Minggu, 27 Oktober 2013

Ushul Fiqh - Ijma' dan Qiyas

BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sumber hukum islam adalah alquran dan alhadits. Al quran yang merupakan wahyu Allah kepada Muhammad saw dan al hadits sebagai penjelas al quran sangatlah tidak terbantahkan.
Namun begitu keadaan Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber hukum islam setelah al quran dah hadits juga tidak bias diabaikan begitu sajadi dalam setiap keputusan hukum yang ada. keadaan alam, kehidupan peradaban manusia yang senantiasa berkembang pastinya akan terus melahirkan hal – hal baru yang membutuhkan kepada hukum baru yang belum ada kejadiannya pada masa nabi Muhammad saw. Di sinilah diperlukannya peranan dari ijma’ dan qiyas dalam menentukan suatu hukum terhadap perkara baru yang belum ditetapkan secara qath’I di dalam al quran dan hadits.

B.     Permasalahan
·         Apa yang dimaksud dengan ijma’? Apa saja macam – macam ijma’? Bagaimana syarat suatu ijma’? Dan bagaimana kehujjahan ijma’ itu sendiri?
·         Apa yang dimaksud dengan qiyas? Apa saja rukun Qiyas? dan bagaimana kehujjahan qiyas itu sendiri?

C.     Tujuan Pembahasan
·         Mengetahui hal – hal yang berkenaan dengan sumber hukum islam setelah al quran dan hadits, yaitu ijma’ dan qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN

Ijma’
A.      Pengertian Ijma’
Secara bahasa, ijma’ memiliki dua pengertian. Pertama  ijma’ adalah bermaksud atau berniat. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh al Quran surat Yunus ayat 71 :
......hai kaumku, jika nkamu merasa berat bagimu tinggal bersamaku dan peringatanku kepadamudengan ayat Allah, maka kepada Allahlah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu . . . .”
Maksud dari ayat inbi adalah kebulatan tekat dan kesungguhan para pengikut nabi Yunus as yang harus mengikuti jalan yang beliau  tempuh. Kedua, ijma’ memiliki arti sepakat atau ittifaq tehadap sesuatu. Hal ini sebagaimana pernyataan al Quran surat Yusuf ayat 15 yang berbunyi :
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur . . . . “
Pada ayat ini menyatakan bahwa saudara nabi Yusuf telah sepakat untuk melakukan kejahatan yaitu memasukkan Yusuf ke dalam sumur. Perbedaan keduanya adalah pada poin pertama bisa dilakukan sendiri atau banyak, sedangkan pada permasalahan kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih ( Rahmat Syafe’i, 2010 : 69 )
Adapun menurut istilah, para ulama masih berbeda pendapat dalam mendefinisikan arti ijma’ itu sendiri. Pengarang kitab Fushulul Bada’ berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari ijma’ umat Muhammad saw dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’. Sedangkan menurut al Kamal bin Hamam, ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad saw terhadap masalah syara’.
Dari kedua definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa ijma’ merupakan :
a.       Kesepakatan seluruh mujtahid dari ijma’ umat Muhammad saw.
b.      Ijma’ dilakukan setelah rasulullah saw wafat
c.       Ijma’ berkaitan dengan hukum syara’.
B.       Pembagian Ijma’
Secara umum ijma’ dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Ijma’ Sharih atau Ijma’ Qauliy
Ijma’ Qauliy adalah ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid baik secara lisan maupun tulisan yang mengeluarkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain pada zamannya (Beni Ahmad Saibeni, dkk,2009 : 169).
Hal ini bisa terjadi nbilas semua mujtahid berkumpul di suatu tempat kemudian masing – masing mengeluarkan pendapat terhadap suatu perkara. Setelah itu mereka menyepakati salah satu dari pendapat yang mereka keluarkan tersebut. Selain itu, bisa juga juga seorang mujtahid mengeluarkan fatwa terhadap suatu perkara yang timbul pada masanya, kemudian fatwa tersebut diikuti oleh para mujtahid sesudahnya dan mereka setuju dan sepakat dengan pendapat tersebut ( Rahmat Syafe’i, 2010 : 72)
2.      Ijma’ Sukutiy atau Ijma’ Ghairu Sharih
Ijma’ sukuty merupakan pendapat sebagian ulama tentang masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tetapi mereka diam tidak menyepakati ataupun menolaknya penadapat tersebut secara jelas.
Ijma’ sukutiy dikatakan sah bila :
a.       Diamnya para mujtahid betul – betul tidak menunjukkan kesepakatan atau penolakan.
b.      Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama
c.       Masalah yang difatwakan bersifat ijtihadi yang berasal dari dalil – dalail dhanniy.
Namun begitu, masih ada para ahli yang menggolongkan ijma’ ke dalam beberapa golongn selain yang dua di atas sebagai yang tertera di dalam buku Fiqh Ushul Fiqh yaitu :
1.      Ijma’ sahabat
2.      Ijma’ khalifah empat
3.      Ijma’ Abu Bakar dan Umar
4.      Ijma’ ulama Madinah
5.      Ijma’ ulama Kufah dan Basrah
6.      Ijma’ ulama itrah atau ijma’ Kaum Syiah
C.      Syarat – Syarat Ijma’
·         Yang bersepakat adalah para mujtahid
Kesepakatan orang awam atau orang yang belum mencapai tingkat mujtahid tidak dikatakan dengan ijma’, begitu pula dengan penolakan mereka. Karena mereka tidak ahli dalam menelaah hukum syariah.
·         Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakat terhadap suatu perkara sementara yang lainnya, meskipun sedikit, maka menurut jumhur tidak bisa dikatakan dengan ijma’, karena ijma’ harus mencakup semua mujtahid.
·         Para mujtahid adalah umat Nabi Muhammad saw
·         Dilakukan setelah wafatnya Nabi Muhammad saw
Ijma’ tidak terjadi pada masa nabi Muhammad saw masih ada, karena nabi selalu menyetujui perbuatan – perbuatan para sahabat yang dipandang baik dan dianggap sebagai syariat.
·         Kesepakatan harus berhubungan dengan syar’i
Maksudnya adalah kesepakatan para mujtahid haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat seperti tentang wajib, sunnah, makruh, haram dan lainnya.

B.       Kehujjahan Ijma’
Ulama ushulliyyin berpendapat bahwa ijma’ merupakan hujjah syar’iyyah dan sumber hukum islam. Sementara kaum khawarij berpendapat bahwa ijma’ yang bisa dijadikan hujjah hanyalah ijma’ para sahabat nabi pada saat islam masih bersatu dan belum terjadi perpecahan (Beni Ahmad Saebani,dkk,2009:170).
Kehujjahan ijma’ berdasarkan dalil – dalil :
1.      Al Quran surat an Nisa ayat 115
dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam. . . . “
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang – orang yang menentang Rasul setelah jelas semua kebenaran. Kebenaran yang dibawa oleh nabi Muhammad saw telah disepakati oleh umat islam, artinya sudah ijma’. Adapaun orang yang tidak mengikuti jalan orang mukmin merupakan orang yang menentang ijma’ atau kesepakatan dari umat islam sendiri.
2.      Al Quran surat al Baqarah ayat 143
dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu.  . .....”
Ijma’ yang dilakukan oleh umat Muhammad saw haruis dijadikan sumber hukum dan hujjah syar’iyyah karena umat Muhammad memilikin sikap keseimbangan dalam setiap hal
3.      Al Quran surat Ali Imran ayat 103
dan berpegang teguhlah kamu kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai....”
Perintah Allah kepada umat islam adalah untuk berpegang kepada tali agama Allah dan jangan berpecah belah. Ayat ini secara tidak langsung memandang ijma’ sebagai bagian dari upaya berpegang kepada tali Allah, yaitu berpegang pada kebenaran dari Allah. Adapun cerai berai merupakan suatu ungkapan yang mengharuskan kita untuk bersatu taua bersepakat dalam setiap hal, termasuk memutuskan hukum yaitu dengan jalan ijma’..

Qiyas
A.       Pengertian Qiyas
Yang dinamakan Qiyas, menurut para ahli ushul fiqh adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash nya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nash nya lantaran adanya persamaan ‘illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.
 Misalnya adalah jual beli pada waktu azan jum’at diserukan adalah suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu makruh. Nash yang menetapkannya adalah firman Tuhan: “wahai orang2 yang beriman, bila telah diserukan untuk bersembahyang pada hari jum’at, segeralah berzikir kepada Allah dan tinggalkanlah berjual beli “(Al-jum’ah : 9).
‘illat hukum dimakruhkan berjual beli pada waktu azan jum’ah diserukan ialah karena perbuatan tersebut melalaikan solat. kemudia peristiwa-peristiwa seperti mengadakan perikatan gadai menggadai, perburuan atau mengadakan perikatan mu’amalah lainnya yang dilakukan pada waktu azan jum’at diserukan, tidak ada nash yang menetapkan hukumnya. Akan tetapi karena ‘illat dari peristiwa-peristiwa tersebut sama dengan ‘illat peristiwa berjual beli yang dilakukan pada wakyu azan jum’at, yakni melalaikan solat yang hukumnya makruh.

B.        Pemabagian Qiyas
Qiyas dibagi menjadi :
1.      Qiyas aula. Suatu qiyas yang ‘illat nya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan mempunyai hukum yang lebih utama dari pada tempat menyamakannya. Misalnya mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan uff kepadanya.
2.      Qiyas musawi. Yakni suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan ‘illat hukum yang terdpat pada mulhaq nya adalah sama dengan ‘illat hukum yang terdapat pada mulhaq bih. Misalnya membakar harta benda anak yatim diqiyaskan dengan memakannya yakni sama dengan merusakkan harta dan hukumnya haram.
3.      Qiyas dalalah. Yaknisuatu qiyas dimana ‘illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya. Seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil kepada harta seorang dewasa dalam kewajiban nya mengeluarkan zakat dengan ‘illat bahwa seluruhny adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah.
4.      Qiyas syibhi. Yakni suatu qiyas yang mulhaqnya dapat diqiyaskan kepada mulhaq bih, akan tetapi iya diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaan dengan mulhaq. Misalnya seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang. Budak yang dirusakkan itu dapat diqiyaskan dengan orang merdeka, karena memang keduanya adalah sama-sama keturunan Adam dan dapat juga diqiyaskan dengan harta benda, karena keduanya adalah sama-sama dapat dimiliki.tetapi budak tersebut diqiyaskan dengan harta benda. Yaitu sama-sama dapat diperjual belikan, dihadiahkan, diwariskan, dan sebagainya. Oleh karena sahaya tersebut diqiyaskan dengan harta benda, maka hamba yang dirusakkan itu dapat diganti dengan yang senilai.

C.       Rukun Qiyas
Ada beberapa rukun Qiyas, yaitu :
1.      Ashal (pokok)  yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash nya yang dijadikan tempat mengqiyaskan.
2.      Far’u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nash nya dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalnya.
3.      Hukum ashal. Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabang nya.
4.      ‘illat. Ialah suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashal. Yang karena adanya sifat itu, maka peristiwa ashal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum peristiwa yang ashal.

D.       Kehujjahan Qiyas
Humhur ulama berpendirian bahwa qiyas itu adalah menjadi hujjah syar’iyah (sumber hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia, dan berada pada tingkatan keempat dari dalil-dalil syari’at. Alasan yang dikemukakan oleh jumhur ulama dalam menetapkan kehujjahan qiyas terdiri dari al-quran, as-sunnah, pendapat dan perbuatan para sahabat dan logika.
Contoh dalil dari Al-quran :
يأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم, فإن تزعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر, ذلك خير وأحسن تأويلا (انساء : 59)
Artinya “ hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan rasulnya dan orang-orang yang memegang kekussaan diantara kamu.kemudian jika kamu berlainan pendapat dari sesuatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan rasulnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemuadian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. ( An-nisa : 59)
Contoh dalil as-sunnah :
Sabda rasulullah SAW dalam membai’at mu’az bin jabal sebagai wali kota di Yaman, katanya : bagaimanakah kamu memutusi perkara bila dikemukakan masalah kepadamu? Jawab mu’az : aku memutuskan dengan kitabullah. Maka jika jika maslah itu tidak terdapat didalam kitab Allah? Tanya Rasul slanjutnya. Maka dengan sunnah rasul. Jawabnya. Kemudian Rasul menanyakan lebih lanjut : jika masalah itu tidak terdapat dalam sunnah rasul?. Aku berijtihad dengan pendapatku dan berusaha segenap tenaga, katanya. Lalu mu’az meneruskan ceritanya, ujarnya Rasul telah menepuk dada saya dan seraya bersabda : segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan rasul karena telah membuat keredhaan Allah dan Rasulnya ( RW. Abu Dawud, At-Yurmizi dan An-Nasa’i).
Logika :
Analisa-analisa yang logis yang mereka pergunakan untuk menetapkan penghujjahan Qiyas adalah sebagai berikut :
a.       Allah ta’ala tidaklah menetapkan hukum bagi hambanya sekiranya tidak untuk kemaslahatan hamba itu.
b.      Nash-nash Al-quran dan as-sunnah itu adalah terbatas. Sedang kejadian-kejadian pada manusia itu tidak terbatas dan tidak berakhir. Oleh karena itu tidak mungkin nash-nash yang terbatas itu dijadikan sebagai sumber terhadap kejadian-kejadian yang tidak trebatas, dengan demikian qiyas merupakan sumber yang dapat mengikuti kejadian-kejadian baru dan dapat menyesuaikan dengan kemaslahatan.
c.       Qiyas adalah dalil yang sesuai dengan naluri manusia dan logika yang sehat. 
Hubungan antara Ijma’ dan Qiyas
Dalam hubungannya dengan ijma’, qiyas sering dikatakan sebagain sandaran ijma’. Namun begitu, para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa ijma’ adalah qaht’i sementara ijma’ adalah dhanniy. Menurut kaidah, yang qath”i tidak sah disandarkan kepada yang dhanniy.
Opara ulama yang sepakat mengatakan bahwa qiyas bisa dijadikan sandaran terhadap ijma’ berargumen bahwa ini sesuai dengan pendapat ulama pada jumhur, juga karena qiyas merupakan salah satu dalil syara’ maka sah dijadikan landasan ijma’ sebagai dalil syara’ lainnya. Para ulama ini memberikan contoh dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah dengan mengqiyaskan bahwa pada pada saat sakit keras nabi pernah menyuruh Abu Bakar untuk menjadi imam shalat.
  
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Selain al quran dan hadits, masih ada sumber hukum islam lainnya yang mnenjadi hujjah dalam pengambilan hukum, yaitu ijma dan qiyas.
Ijma’ yang merupakan kesepakatan para mujtahid terhadap suatu perkara bisa dijadikan hujjah sebagaimana dalil – dalil yang telah dikemukakan di atas. Sebagaimana ijma’, qiyas juga merupakan sumber hukum islam yang bisa dijadikan hujah, karena poada hakikatnya dalil ijma’ berasal dari dalil yangh ada di dalam al;l quran.



DAFTAR PUSTAKA

Yahya, Mukhtar. 1986. Dasar – Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung : al Maarif

Syafe’i, Rahmat, Prof., DR.. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia


Saebani, Beni Ahmad, Drs., dkk, 2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar